SAMOSIR.WAHANANEWS.CO - Medan, Dalam rangka membahas dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan oleh PT Toba Pulp Lestari (TPL) terhadap masyarakat di kawasan Danau Toba.Jum'at (03/10/ 2025) Komisi XIII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Ballroom Nanjing, Grand Cityhall Medan, Hal tersebut disampaikan Hengky Manalu dari Biro Organisasi Kaderisasi dan Keanggotaan AMAN Tano Batak, Minggu (05/10/2025)
Rapat Dengar Pendapat (RDP) dipimpin Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI, Sugiat Santoso, S.E., M.S.P., didampingi Rapidin Simbolon yang turut dihadiri dari perwakilan Kementerian Hukum dan HAM RI, Komnas HAM, LPSK, Polda Sumut, Kepala daerah se-Kawasan Danau Toba, tokoh agama, organisasi masyarakat sipil, Jhontoni Tarihoran(Kemeja Merah) dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak dan perwakilan PT TPL.
Baca Juga:
Hengki Manalu : AMAN Tano Batak Kecam Kejadian kekerasan Dari Pihak Pekerja TPL Pada Masyarakat Sihaporas
Dalam sambutannya, Sugiat Santoso Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI, menegaskan bahwa investasi harus tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.Dimana Krisis Ekologis dan Konflik Agraria telah menjadi Sorotan oleh
Sejumlah tokoh agama dan masyarakat sipil akan dampak sosial dan ekologis akibat operasi PT TPL.
"Negara mendukung investasi, Namun perlindungan hak asasi manusia tidak boleh dikorbankan,”tegas Sugiat Santoso
Jhontoni Tarihoran(Kemeja Merah) dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak menyampaikan berbagai pelanggaran HAM yang dilakukan oleh PT. TPL di Tanah Batak. (Foto: Sopo Tano Batak. 2025)
Baca Juga:
Aktivis Lingkungan dan GBSI Sumut Beberkan Fakta, PT TPL Disebut Melakukan Perbudakan Terhadap Buruh
Ephorus HKBP, Viktor Tinambunan yang hadir bersama dengan Preses Distrik Toba dan Sumatra Timur, menyerukan penutupan PT TPL, serta menyampaikan dan menilai bahwa Aktivitas perusahaan PT TPL telah menyebabkan krisis ekologis dan sosial di Tanah Batak.
Dikesempatan RDP tersebut Pastor Walden Sitanggang dari Yayasan Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan Kapusin menyebut bahwa Kehadiran PT TPL justru telah menimbulkan konflik horizontal dan kerusakan lingkungan. Dimana hal senada juga disampaikan Mangitua Ambarita dari perwakilan masyarakat yang terdampak juga menyampaikan bahwa adanya intimidasi dan tekanan terhadap masyarakat adat yang mempertahankan tanah leluhur mereka.
"Mulai dari Tahun 1998 Kami telah berjuang untuk tanah ini, namun sejak itu kami selalu di kriminalisasi, sampai hari ini sudah banyak yang di penjara dan akar masalahnya tidak pernah selesai,"ucap Mangitua Ambarita dengan tegas.
Jhontoni Tarihoran dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak juga menyampaikan bahwa dengan kehadiran PT. Inti Indorayon Utama (P.T IIU) sampai berganti menjadi PT. Toba Pulp Lestari (P.T.TPL) telah mendapat banyak penolakan. Salah satu diantaranya adalah perampasan tanah adat.
Lebih lanjut Jhontoni Tarihoran menjelaskan bahwa berdasarkan catatan, Ada sekitar 33.000 Ha Wilayah Adat yang masuk dalam klaim sepihak konsesi PT. TPL, dan ketimpangan ini melahirkan banyak kasus kriminalisasi dan intimidasi seperti yang terjadi di Sihaporas, Natinggir, Natumingka, Nagasaribu dan Dolok Parmonangan.
"Jadi persoalan ini penting untuk dilihat secara menyeluruh dan diselesaikan dengan mendorong Tim Gabungan Pencari Fakta atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh PT. Toba Pulp Lestari,"ujar Jhontoni Tarihoran
Pastor Walden Sitanggang mewakili JPIC Kapusin Medan dan Ephorus HKBP Viktor Tinambunan dalam pertemuan Rapat Dengar Pendapat dengan komisi XIII DPR RI di Medan. 03/10/25. (Foto: Kanwil HAM Sumut)
DI RDP tersebut Pemerintah Daerah Akui akan Kompleksitas Konflik dimana perwakilan pemerintah daerah dari tujuh kabupaten di sekitar Danau Toba menyampaikan pandangan beragam, Penyampaian dari Kabupaten Simalungun menilai bahwa konflik dengan PT TPL telah menyebabkan kerugian besar bagi masyarakat dan mendesak penyelesaian segera.
Pendapat dari Kabupaten Toba di RDP tersebut mengakui masih adanya kendala hukum dan sejarah dalam pengakuan tanah adat. Sementara Kabupaten Humbang Hasundutan menegaskan bahwa beberapa wilayah adat sudah diakui melalui SK Menteri Lingkungan Hidup tahun 2021, Dan Kabupaten Pakpak Bharat menyoroti dampak terhadap sumber air dan irigasi sawah akibat kegiatan perusahaan.
Sementara di Rapat Dengar Pendapat (RDP) tersebut Lembaga Negara Desak Evaluasi dan Perlindungan Hukum, Dari sisi lembaga negara yang hadir dalam pertemuan tersebut, juga menyampaikan beberapa pandangan.
Dari pihak Komnas HAM RI Saurlin P. Siagian menilai bahwa akar persoalan terletak pada tata kelola perizinan kehutanan yang keliru, dan mendorong evaluasi menyeluruh oleh pemerintah.Dan dari pihak LPSK menyatakan akan kesiapan memberi perlindungan hukum kepada korban maupun saksi yang terdampak.
Kemenkumham Sumut di kegiatan rapat juga menyebutkan telah melakukan peninjauan lapangan dan dialog langsung dengan masyarakat dan perusahaan. Sementara dari pihak Polda Sumut menegaskan akan komitmen untuk menindak setiap bentuk kekerasan secara profesional dan adil.
Hengky Manalu-Biro Organisasi Kaderisasi dan Keanggotaan AMAN Tano Batak
Di RDP tersebut pihak dari PT Toba Pulp Lestari melalui Perwakilan PT TPL, Janres Halomoan Silalahi, menyatakan bahwa perusahaan selalu beroperasi sesuai aturan dan telah melakukan sembilan kali adendum perizinan. Serta menegaskan bahwa pihak TPL tidak merusak hutan dan juga menyampaikan telah mengeluarkan beberapa wilayah adat dari konsesi sejak 2017.
Hasil dari kegiatan Rapat Dengar Pendapat tersebut menghasilkan kesimpulan dan Rekomendasi DPR RI.Dalam kesimpulannya, Komisi XIII DPR RI menegaskan sejumlah poin penting:
1. Dugaan pelanggaran HAM bersifat struktural dan sistematis, mencerminkan kegagalan negara dalam kebijakan konsesi dan penegakan hukum.DPR RI merekomendasikan pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang melibatkan Kemenkumham, Komnas HAM, dan LPSK untuk memverifikasi dan mengumpulkan bukti hukum.
2. DPR RI meminta seluruh lembaga negara dan pemerintah daerah untuk menangani konflik secara non-diskriminatif dan tanpa kekerasan, mengedepankan dialog berbasis HAM.
3. Jalan-jalan yang ditutup akibat konflik harus segera dibuka kembali demi menjamin akses masyarakat terhadap pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan dasar.
4. DPR RI menilai konflik agraria di wilayah konsesi PT TPL menunjukkan kegagalan sistemik dalam regulasi kehutanan dan pertanahan, dan berkomitmen menindaklanjutinya melalui Panitia Khusus Penyelesaian Konflik Agraria DPR RI.
Serta dijelaskan juga bahwa Rapat Dengar Pendapat !RDP) akan menjadi momentum penting bagi DPR RI untuk menegaskan posisi negara dalam melindungi hak-hak masyarakat adat dan korban pelanggaran HAM di kawasan Danau Toba, serta mendorong akuntabilitas korporasi dan pembenahan tata kelola sumber daya alam di Indonesia.
[Redaktur Hadi Kurniawan]